Cerpen #3

by - July 25, 2019

Hello ...
It's been a while since I shared my drafted short stories. So, here I come with another short story that rejected by the editor of so many magazines, I wish they could post one of them, but that's fine that now my babies end up here. Well, lemme know what kind of post you wait the most. I know it is silly but, happy reading. Xoxo.



Awal tahun baru  yang tidak biasa. Semua kesempurnaan yang terlihat maupun yang terasa di dada Yura begitu jelasnya tergambar di senyumnya. Bibir mungilnya terlihat lebih manis dengan pewarna soft pink beraroma cherry, kesukaannya. Tangan kirinya sedikit lebih hangat dari tangan kanannya yang padahal dimasukkan dalam kantung jaket tebalnya. Di sampingnya kini, musuh dalam segala hal-nya mendongak menatap salju pertama yang turun dengan indahnya, dan tangan kanannya menggandeng tangan gadis mungil, Yura, dengan eratnya. Musim dingin pertama mereka di Vancouver.
**
Terdengar dengan kerasnya berdentum loud speaker di kamar Yura pagi itu, sudah dapat ditebak, lagu EXO, salah satu boyband yang sedang ia dan jutaan remaja cewek di luar sana gemari. Dia sedikit menghemingkan beberapa bagian reff lagunya dengan asal. Karena ini pertama kalinya ia menjadi K-Pop lover. Paling mentok dia mungkin hanya bisa mengucapkan Kamsahamnida dengan benar. Mungkin karena ia  mewakili kelas maupun membawa nama sekolah ke tingkat kabupaten bahkan nasional dalam lomba bahasa Inggris dan voli bukan bahasa Korea. Selama ini ia selalu mengikuti lomba speech dan debate, padahal dia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa dia berjiwa pendongeng. Besar harapannya di tahun terakhirnya di SMA ini ia dapat memperoleh kesempatan mengikuti Story Teller Competition di bulan Mei mendatang, karena ini adalah kesempatan terakhirnya.
Selama ini ia bermimpi untuk melanjutkan studinya ke Negeri Paman Sam atau ke negeri tetangga, Australia. “Yura, mau sampai kapan kamu nyanyi terus? Nggak enak tuh Andar sudah nunggu di teras.” Kata kakak Yura dari luar kamar Yura. “Iya Mas Dias, ini juga tinggal matiin mp3-nya.” Kata Yura bohong. Padahal jelas ia masih sibuk mencari sisirnya.
Setelah 15 menit berlalu, akhirnya Yura keluar dari kamarnya, lalu menyambar selembar roti dari meja makan dan  langsung berlari menuju ruang tamu, karena yang dicarinya tak ada, maka ia langsung ke teras dan ditemukannya cowok kesayangannya itu. “Maaf  ya, Bos. Biasa urgent tadi hehehe,” katanya seraya nyengir dan menyuapkan roti ke mulut kecilnya. “Sudah biasa Tuan Putri, yuk langsung berangkat. Barusan Samudra lewat udah buru-buru tuh,” kata Andar pada Yura sambil menghidupkan mesin motornya. “Alah Samudra sih suka sok bener. Cari muka, babe,” kata Yura mengakhiri obrolan pagi itu. Kalau sudah menyangkut Samudra, Andar, kekasihnyapun sudah malas mengomentari, nggak akan pernah ada habisnya.
Sejak dulu memang Yura dan Samudra selalu bersaing dalam hal apapun. Entahlah mulai dari mana, dulu saat duduk di bangku SD mereka tidak sesengit ini. Namun, setelah di SMP, mereka jadi susah akur saat bersama hehehe. Terutama saat ada kompetisi bahasa Inggris, pasti pembimbing mereka memilih Samudra untuk Story Telling, yang mana Yura sangat mengiginkannya sejak dulu. Itulah mengapa Yura tambah susah baik-baik saja dengan Samudra. Singkatnya tujuan utama Yura sesungguhnya adalah membuat dirinya tepilih menjadi wakil sekolahnya di Hari Pendidikan Nasional nanti sebagai story teller bukan yang lainnya, dan itu maksudnya mengalahkan Samudra.
**
Sesampainya di sekolah, Andar langsung berpisah dengan Yura. Kelas IPA-2 berada di lantai 2 dan kelas Andar, IPS-1 ada di lantai 1 di sisi gedung yang lain, lumayan jauh dari kelas Yura. “Nanti pulang duluan aja ya, Ndar. Aku ada technical meeting buat persiapan lomba, nih,” katanya manja. “Nanti aku juga ada latihan basket kok, kalo kelarnya bareng aku tunggu deh ya, dadah,” kata Andar langsung meninggalkan Yura setelah melihat gadis mungil kesayangannya itu manggut-manggut lalu berlari menuju kelasnya.
Di kelas Yura tidak punya banyak teman, mereka lebih memilih berteman dengan Samudra. Bukan karena dia ganteng atau yang lainnya. Samudra berbadan mungil kecil, berkulit putih, memakai behel dan berkacamata. Sedangkan Yura berbadan mungil, berkulit sedikit gelap dan rambutnya selalu dicepol kemanapun dan kapanpun, wajahnya memang sangat tidak bersahabat dan pendiam. Mungkin itu yang membuat teman-teman sekelasnya juga jarang ngobrol dengannya.
“Ra, kapan kamu mulai latihan?,” tanya Renata, teman sebangku Yura, mengagetkan Yura dan membuatnya langsung memasukkan HP-nya ke dalam saku seragamnya. “Duh, kalau udah dateng bilang, dong. Kirain udah ada Bu Aris. Nanya apa barusan?,” kata Yura lalu mengutak-atik HP-nya lagi. “Malah ngomel lagi, kapan mulai latihan, bawel?,” ulang Renata. “Belum pasti, Ta. Nanti aja baru mau diomongin, kamu ikut deh,” jawab Yura. “Yah, nih anak mau ngledek malahan. Mending lomba balap karung, Ra,” jawab Renata lemes, lalu keduanya tertawa bersamaan dibarengi dengan deringan bel, tanda pelajaran dimulai.
**
“Selamat siang, Pak,” ucap murid-murid serentak, menandakan berakhirnya pembelajaran Sabtu itu. Tampak jelas keceriaan di wajah mereka menyambut akhir pekan yang sudah lama dinantikan. Bagi kelas XII yang sibuk dengan tugas dan les tentu saja detoks akhir pekan sangat  dibutuhkan. Terdengar beberapa anak lelaki saling kode untuk pergi futsal bersama, di sudut lain Renata memanggil Liana dan Eden untuk pergi nonton bersama. Yura sibuk mengemasi buku-bukunya. “Duluan ya, Ra. Aku mau jalan sama anak-anak, nggak nitip nih?,” kata Renata sembari menata rambut lurusnya yang begitu indah, sering membuat Yura merasa iri, “Ok, have fun yaa. Nggak deh, Ta, lagi hemat maksimal,” kata Yura sambil senyum kecut. “Duh, kasian. Setelah UNAS nggak boleh hemat lagi, harus sering maen bareng aku pokoknya,” canda Renata. “Hahaha siap, kapten,” kata Yura lalu melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan  Renata yang menjauh darinya.
Seseorang menepuk bahunya pelan. “Bareng ya,” kata Samudra nyengir. “Eh kamu, Sam. Duluan aja deh, aku mau nemuin Andar dulu,” kata Yura cari alasan. “Yaudah aku ikut kamu dulu aja,” kata Samudra, membuat Yura terdiam. “Yah, nggak pengertian banget sih kamu, Sam. Masa aku mau makan berdua sama Andar kamu ngikut,” kata Yura berbohong akhirnya. “Aku cari meja makan yang jauh deh,” kata Samudra nggak mau kalah. “Ah males, langsung ke Laboratorium Bahasa aja kalau begitu,” kata Yura menyerah. “Nanti kalau kamu lapar gimana?,” tanya Andar sembari mengejar langkah gusar Yura. “Mati,” kata Yura dalam hati. Ia biarkan Samudra mengikutinya di belakang.
Padahal tak pernah ada yang salah pada Samudra, bahkan ia tak pernah benar-benar menganggap Yura sebagai saingannya. Tapi Yura menyebutnya seperti Malfoy, sementara dia adalah Harry Potter. Terkadang ia membesarkan masalah seperti saat Samudra tak sengaja melempar bola kasti lalu mengenai Yura, sesampainya di rumah Yura bercerita bahwa Samudra sengaja melempar bolanya dengan begitu keras agar mengenainya dan ia akan gagal mengikuti lomba yang akan mereka ikuti saat itu.
**
Sepanjang sore ini Yura hanya melamun di teras belakang rumahnya, hasil technical meeting  hari ini membuat Yura sedikit geregetan. Setelah Yura menyiapkan segalanya, seolah ia siap perang dengan Samudra dan menentang keputusan pembimbing yang jika mereka tetap memintanya untuk mewakili sekolahnya untuk lomba speech, ternyata keputusannya kelas XII tidak akan ditunjuk lagi karena harus fokus untuk mempersiapkan ujian kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi.
Rasanya seperti orang gila yang telah bersusah payah mendaki gunung padahal itu hanya sebuah gundukan pasir. “Saatnya kita pensiun ya,” kata Samudra tadi siang setelah rapat berakhir. Kata-kata itu terdengar begitu menyebalkan di telinga Yura. Entahlah.
**
Akhirnya ujian kelulusanpun sudah berlalu. Andar sibuk mengurus perpindahannya ke Yogyakarta. Ia melanjutkan kuliahnya ke salah satu universitas ternama di sana dengan jurusan Teknik Geologi.
Sesuai janji mereka, setelah hampir 2 tahun bersama Yura dan  Andar memutuskan untuk fokus kuliah dan melanjutkan hubungan mereka sebagai sahabat. Mereka memiliki asumsi yang sama bahwa, cinta monyet akan menghambat pendewasaan, hehe, entahlah.
Sementara Andar sibuk dengan perpindahannya, Yura masih harap-harap cemas menunggu berita dari beberapa universitas luar negeri. Segala tes sudah dijalani. Sekarang yang dilakukan hanya menunggu pengumuman. Sembari itu terkadang Andar masih menyempatkan meneleponnya dan memberi semangat. Seperti malam ini, “Udah nggak usah khawatir, pasti kabar baik segera dateng kok, Ra,” jawab Andar dari seberang, mencoba menenangkan Yura kalau sudah mulai dengan semua pengandainya. Seandainya nggak diterima gimana? Seandainya bukan rejekinya gimana? Seandainya  dan seandainya yang lain. “Tapi beberapa teman yang ke Australia sudah daftar ulang sejak minggu lalu, Ndar,” kata Yura manja. Akhirnya Yura memutuskan untuk mendaftar ke salah satu universitas di Kanada dan Inggris. Setelah dipertimbangkan oleh kedua orang tuanya dan masukan dari Mas Dias, Yura membatalkan mendaftar ke universitas tetangga itu. Sedangkan kakaknya sendiri yakin pilihannya yang terbaik, karena banyak pasiennya berkata demikian.
“Ya sudah sabar saja. Ngomong-ngomong, Samudra kok nggak dengar kabarnya ya, Ra?,” tanya Andar tiba-tiba. “Kata Mas Dias dia udah terbang ke Amerika sejak wisuda, Ndar. Papanya kan punya koneksi di sana, Ndar, ya gampang aja dia,” kata Yura. “Udah nggak usah mulai, siapa tahu kalian nanti tetanggaan kampusnya hehe,” kata Andar. “Ya semoga enggak. Udah 2 tahun di SMA sekelas kalau udah di negeri orang masih aja ketemu dia, kalau nggak jodoh yang terkutuk aku, Ndar,” jawab Yura lalu tertawa kencang. “Dia nggak pamit kamu gitu, Ra? Kan kalian tetanggaan,” kata Andar menggoda Yura. “Kata Mas Dias sih, iya, dia ke rumah malam hari sebelum dia berangkat, tapi kan aku lagi jalan sama kamu hehe,” kata Yura.
Setelah percakapannya di telepon malam itu, Yura teringat akan sepucuk surat dari Samudra yang dititipkan pada kakak Yura. “Pesennya dibuka pas kamu udah di pesawat perjalanan ke Amrik atau Inggris, Ra,” kata Mas Dias sambil menyerahkan surat dari Samudra malam itu. “Malah nggak akan aku baca kali, Mas,” kata Yura dalam hati.
Tiba-tiba ingatannya kembali saat kelas IX semester ganjil lalu, saat ia turun dari sepeda Samudra, “Sam, aku mau ngomong sesuatu, would you stay a bit?,” kata Yura saat itu. “Let me tell you this first,” lalu Samudra membisikan sesuatu ke telinga kanan Yura. Gadis mungil itu menghentikan desah nafasnya dan matanya melotot karena terkejut, sesuatu  menyakiti dadanya. “Kamu tahu kan, dia yang biasanya nyanyi lagu-lagu korea pas istirahat, ahh pokoknya ala korea itu lho, Ra,” kata Samudra menimpali bisikannya sendiri. Samudra menemukan cinta pertamanya.
**
Telepon berdering berkali-kali di ruang tamu, “Biar aku aja, Mas,” kata Yura berlari mendahului kakaknya, akhirnya Mas Dias memutar balik badannya menuju ruang prakteknya kembali. Akhir-akhir ini pasien banyak yang meminta kakak Yura untuk membuka Klinik Gigi di rumah, dengan alasan waktu yang lebih fleksibel.
Yura angkat gagang telepon itu. “Selamaaaaat yaaaa,” teriak Andar dari Yogyakarta sana. “Terimakasih, kapten. Tapi kita jadi semakin jauh,” kata Yura manja. “Mimpi harus diwujudkan, dong,” kata Andar menggurui. “Iya, Ndar,” kata Yura. Lalu mereka mengakhiri panggilan itu dengan saling pamit dan menyemangati satu sama lain.
Setelah menutup telepon itu, Yura kembali ke kamarnya. Mengemasi semua barang yang akan dibawa, dan merapikan barang-barang yang akan di masukkan ke gudang. “Loh, Ra, nggak salah apa itu semua DVD EXO kamu masukkan gudang,” kata Mas Dias sambil menunjuk kardus bertuliskan “THROW THEM”. “Enggak kok, Mas. Aku tuh suka sama EXO maksa,” kata Yura. “Ternyata sampai saat ini masih nggak jodoh, yaudah aku simpan dulu. Nanti mungkin aku dengerin lagi hehe,” kata Yura lagi. “Oh iya, Ra, titip salam ke Samudra ya kali aja kalian ketemuan di sana hehe,” goda kakaknya. “Enak aja, tapi dia di mana ya, Mas?,” tanya Yura yang sebenarnya sangat penasaran. “Nggak tahu juga, Ra. Emangnya dia  nggak tulis alamatnya di suratnya waktu itu ya?,” tanya Mas Dias. “Aku kira dia ngasih alamatnya, jadi beneran belum baca? Yaudah besok pagi baca yang kenceng di pesawat, hehe,” kata Mas Dias sambil berlalu, karena bel berbunyi tertanda ada pasien datang.
Yura menghentikan geraknya, dan melompati kardus besar di hadapannya, dia mencari-cari benda yang dibicarakan kakaknya itu. Dia ambil kardus kecil berwarna coklat, dia buka dan dia temukan kertas putih itu, berdebu. Dibuka dan dibacanya perlahan.
PASTI PERASAANMU SANGAT BAHAGIA SEKARANG, MENUJU TEMPAT IMPIANMU SAMBIL MEMBUAT LIST TO DO. TENANGLAH, SEMUA AKAN BERJALAN BAIK DAN TIDURLAH, PERJALANANMU MASIH SANGAT JAUH.
MAAF AKU HANYA BISA MENULISKANNYA, KARENA AKU TAHU KAMU TIDAK AKAN MENDENGARKANKU. TAPI AKU SANGAT MENYAYANGIMU, SAHABATKU. MEMILIKI SESEORANG YANG SPESIAL LALU KEMUDIAN KEHILANGAN SEORANG SAHABAT SEPERTIMU. APAKAH AKU SANGAT TIDAK PERDULI HINGGA KUSADARI SAAT KAU TERLIHAT LEBIH BAHAGIA SAAT BERSAMA ANDAR. AKU JUGA INGIN MEMBUAT KAMU TERTAWA SEPERTI ITU, SEPERTI SAAT KITA LEBIH SERING BERSAMA DULU.
SELAMAT MERAIH MIMPI-MIMPI INDAHMU YURA. AKU DI SINI, DI VANCOUVER JUGA TAK AKAN PERNAH MENGALAH HEHE.
THANKS FOR THIS SUPPERB 12 YEARS, YURA. IT IS OUR OWN FAIRY TALE THAT SO HARD TO TELL EVEN FOR A STORY TELLER.
Air mata Yura menetes, dia menuju ruang tamu dan menekan beberapa tombol, setelah terhubung, yura menayakan banyak hal pada Ibu Samudra yang membuatnya semakin terkaget-kaget setelah mendengar bahwa mereka akan menuntut studi di kampus yang sama. Setelah mengakhiri panggilan. Ia berlari menuju kamar kakaknya, tanpa permisi dia akses internet di komputer kakaknya, ia tulis sebuah email untuk Samudra :
AKU MENYUSULMU SAMUDRA.
Lalu ia klik send.

You May Also Like

0 comments